oleh Hasan Al-Jaizy
oleh Hasan Al-Jaizy
Di zaman kita nanti, kajian-kajian sudah layak dipoles dengan sentuhan dan pendekatan modern. Kalau penulis pribadi, lebih memilih ke asal [tradisional; gaya lama], namun tidak berarti menolak gaya modern.
Bagi penulis, pengkaji / pemateri lebih bagus membawa buku banyak lalu ditaruh di meja dan nanti dibuka satu-satu ketika dibutuhkan. Dibanding membawa laptop atau tablet atau semacamnya. Tentu saja laptop lebih enak, atau notebook atau netbook. Tapi, penulis sendiri -jika hadir di depan kumpulan manusia- lebih suka membuat para hadirin lebih semangat membaca kitab melalui kitab langsung, bukan laptop. Meskipun tidak salah juga baca kitab via laptop atau HP atau lainnya.
Bagus juga jika membuat manusia sadar, 'Wah, dia saja yang sudah ngustadz dan ngehabib, masih rela bawa buku banyak ke pengajian. Kok saya yang masih kolot dan super duper awam ini cuma mau baca artikel di laptop atau buku elektronik ya?'
...biar toko-toko buku ga sepi.
...biar sering-sering tu idung merasakan lezatnya aroma buku.
Kalau misalnya pemateri bawa laptop yang lebih besar dari kepalanya, kendala atau problemnya adalah mukanya terhalang jasad laptop. Apalagi jika laptopnya jangkung dan gempal. Kasihan atuh pra hadirin masa harus melihat lambang Apple, atau Acer, atau lainnya?
Mengkaji langsung pada kitab, tiap hadirin membawa kitab, itu jauh lebih enak, lho. Itu menurut penulis. Dan memang itulah aslinya. Bisa corat-coret. Kalau sudah bosan dengan penjelasan ustadz, bisa cari kerjaan pura-pura coret di kitab padahal sedang gambar muka Ultraman Taro.
Bagusnya kita tidak terlalu kolot, namun tidak juga mengandalkan teknologi. Sehingga kajian serasa tidak lengkap tanpa laptop, tanpa projector, tanpa ini tanpa itu.
Ustadz-nya juga jangan gengsi gede-gede-an. Maunya dijemput antar memakai mobil. Kalau pakai Vespa ga terima. Wong dulu gurumu saja datang ke pondok jalan kaki kok; muridnya kalau sudah besar ya belajar terus dari sirah gurunya.
Bagi penulis, pengkaji / pemateri lebih bagus membawa buku banyak lalu ditaruh di meja dan nanti dibuka satu-satu ketika dibutuhkan. Dibanding membawa laptop atau tablet atau semacamnya. Tentu saja laptop lebih enak, atau notebook atau netbook. Tapi, penulis sendiri -jika hadir di depan kumpulan manusia- lebih suka membuat para hadirin lebih semangat membaca kitab melalui kitab langsung, bukan laptop. Meskipun tidak salah juga baca kitab via laptop atau HP atau lainnya.
Bagus juga jika membuat manusia sadar, 'Wah, dia saja yang sudah ngustadz dan ngehabib, masih rela bawa buku banyak ke pengajian. Kok saya yang masih kolot dan super duper awam ini cuma mau baca artikel di laptop atau buku elektronik ya?'
...biar toko-toko buku ga sepi.
...biar sering-sering tu idung merasakan lezatnya aroma buku.
Kalau misalnya pemateri bawa laptop yang lebih besar dari kepalanya, kendala atau problemnya adalah mukanya terhalang jasad laptop. Apalagi jika laptopnya jangkung dan gempal. Kasihan atuh pra hadirin masa harus melihat lambang Apple, atau Acer, atau lainnya?
Mengkaji langsung pada kitab, tiap hadirin membawa kitab, itu jauh lebih enak, lho. Itu menurut penulis. Dan memang itulah aslinya. Bisa corat-coret. Kalau sudah bosan dengan penjelasan ustadz, bisa cari kerjaan pura-pura coret di kitab padahal sedang gambar muka Ultraman Taro.
Bagusnya kita tidak terlalu kolot, namun tidak juga mengandalkan teknologi. Sehingga kajian serasa tidak lengkap tanpa laptop, tanpa projector, tanpa ini tanpa itu.
Ustadz-nya juga jangan gengsi gede-gede-an. Maunya dijemput antar memakai mobil. Kalau pakai Vespa ga terima. Wong dulu gurumu saja datang ke pondok jalan kaki kok; muridnya kalau sudah besar ya belajar terus dari sirah gurunya.
No comments:
Post a Comment