oleh Hasan Al-Jaizy
Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i [w. 204 H] hafal Al-Qur'an di umur 7 tahun. Ia pun telah khatam menghafal Al-Muwattha' karya Al-Imam Malik [w. 179 H] di usia 10 tahun. Dan di usia belasan tahun, ia menjadi sandaran fatwa. Banyak manusia mengambil manfaat darinya.
Ketika di Makkah, Beliau telah menulis sebuah risalah ilmiah penting yang kemudian beliau kirim ke Abdurrahman bin Mahdy, seorang hakim di Iraq. Risalah itu adalah cikal bakal pembuktian kehebatan seorang Asy-Syafi'i dan keberkahan ilmunya. Lalu setelah berada di Mesir, beliau mendikte kembali risalah tersebut pada Al-Muraady. Risalah yang serupa dengan sebelumnya. Awalnya, tiada judul. Namun, setelah tersebarnya, barulah diberi judul Ar-Risalah.
Ar-Risalah adalah kitab fenomenal disebabkan pengaruhnya terhadap perkembangan ilmu syariat, terutama Fiqh. Karena kitab tersebut adalah kitab Ushul Fiqh pertama! Masih murni dan asli ala Asy-Syafi'i. Tidak tercampur baur dengan pengaruh ilmu Kalam, atau Mantiq. Baku dan bertaburan ayat-ayat Al-Qur'an. Tidak bertele-tele, berbelit-belit, berbahasa lugas meski tidak mencakup seluruh materi Ushul Fiqh.
Tidak hanya Ushul Fiqh, bahkan banyak ulama mengatakan bahwa dalam kitab tersebut, tumbuhlah bibit-bibit ilmu Ushul Hadits!
Dan sekarang, jutaan kitab telah tercetak dengan sandaran label 'Fiqh Syafi'i'. Nama Asy-Syafi'i begitu hidup, meski pemiliknya sudah tiada.
Lalu, apa yang kita fikirkan ketika melihat satu rak berisikan kitab-kitab Fiqh bermadzhab Syafi'i? Tiap membuka kitab, pasti tercantum berpuluh-puluh kali...tidak, beratus-ratus kali nama beliau.
Seolah-olah beliau hidup...beliau sudah tidak hidup berkurun masa berlalu.
Ilmu, upaya dan karya, bisa menjadikan nama seorang alim hidup. Jika namanya hidup dikenal baik di tengah manusia, itu adalah alamat betapa berkahnya ilmu pemilik nama. Itu adalah keutamaan dari Allah yang tidak terberi untuk semua manusia. Maukah kau menjadi seperti mereka?
No comments:
Post a Comment