Thursday, January 24, 2013

PINTER DIKIT dan MODERN DIKIT I

oleh Hasan Al-Jaizy


Sekarang, selain dituntut 'pinter dikit', ternyata kita kadang tertuntut untuk modern dikit. Kenapa dituntut pinter dikit? Karena zaman sekarang informasi itu bagaikan banjir tak bermusim. Maksudnya, karena tidak ada musimnya, jadi banjir terus. Tiap hari [pagi, siang, sore, malam] Anda bisa menikmati luasnya pemandangan dunia, baik dengan audio maupun visual. Kenapa tertuntut modern dikit? Karena Uwong ndeso saja sudah kenal HP bagus, sewajarnya uwong kuto harus lebih bagus lagi. 

Natijah Tuntutan Pinter

Di antara natijah tuntutan pinter dikit adalah menukil dengan menyebutkan sumber nukilah. Kalau Anda perhatikan buku karya modern, terutama yang berkaitan dengan Syariah [mencakup Aqidah, Al-Qur'an, Hadits, Fiqh, Akhlaq dll], kita mulai terbiasa melihat footnote di hampir tiap halaman. Cobalah Anda beli 5 buku yang semacam itu. Dikit-dikit, ada tulisan H.R. Bukhari, atau nama-nama kitab yang dinukil isinya. Baca buku semacam itu selama 1 bulan. Nah, di bulan kedua, beralihlah ke buku yang kering kerontang akan footnote. Isinya seolah-olah pendapat pribadi penulis, tanpa mengutip dari sumber lain. Anda akan merasa kekeringan. Kenapa? Karena terbiasa bermain di taman yang penuh bunga footnote. Dan ini adalah salah satu bentuk 'pinter dikit'; yaitu tumbuhnya benih kritis dan tidak cepat percaya. 

Sikap kritis dan tidak mudah percaya sudah tercetak di generasi dahulu; ketika para pelajar hanya mau Taqlid Buta saja. Yang penting ikut pak Guru, pak Kyai dan sebagainya. Wait, saya tidak mengejek. Tetapi, ini hanya mengupas satu serpihan realita. Dahulu, para santri pondok Salafiyyah (baca: tradisional) adalah orang-orang hebat yang mampu menghafal matan-matan kitab kuning, terutama kitab Fiqh bermadzhab Syafi'i atau Lughoh (bahasa). Itu spesial sekali dan sulit ditemukan di hari ini. Namun, jiwa kritis mereka tidak ada. Mereka hanya menelan bulat-bulat. Bahkan, maaf-maaf, tidak sedikit dari mereka hanya menghafal, menjiwai hafalan namun tidak 'mengamalkan' yang terhafal dan terjiwai. Sehingga bukan ilmunya yang dijiwai, melainkan hafalan semata. Jika mau seperti itu, menghafal Al-Qur'an dan Hadits jauh lebih baik.

Nah, keberadaan Salafi-Wahabi (ini sebutan banyak orang) adalah berkah untuk mereka yang tadinya tidur lelap dari dunia kritis. Karena keberadaan orang-orang Salafi membangunkan mereka dari kenyamanan dan keenakan mereka selama berpuluh-puluh tahun dalam mimpi Taqlid. Itu diakui salah satu teman saya yang merupakan lulusan pondok Salafiyyah. Ketika kaum Salafi menggalakkan Tashfiyyah (anti-TBC) dan Tarbiyyah, kaum pondokan Salafiyyah langsung terkaget. Setelah itu, mereka langsung buka-buka kitab. Maka, kaum Salafi sejatinya menuntut kaum pondokan Salafiyyah atau yang sealiran dengannya untuk 'pinter dikit', jangan cuma bisa manut sama kyai atau metode lama atau tradisi semata. Dan ini bagus. 

Beberapa pakar menyebut kaum Salafi adalah penganut Islam Modernis. Sementara kaum Salafiyyah adalah penganut Islam Tradisionalis. Walau kelihatannya benar, tapi saya pribadi tidak mau ada pembagian dan penyebutan semacam ini. Baik Salafi, Salafiyyah atau apapun itu namanya, tetap harus ber-Islam dengan Islam yang sesuai dengan Islamnya kaum salaf. 

Natijah Tuntutan Modern

Kalau ternyata pelabelan Salafi sebagai Islam Modernis dan Salafiyyah sebagai Islam Tradisionalis, maka yang keren adalah Salafi. Sementara, yang Salafiyyah terkesan kolot, konservatif dan kurang terbuka. Padahal selama ini, tidak sedikit kawan penganut 'Islam Tradisionalis' menuduh penganut 'Islam Modernis' sebagai orang-orang kolot, mau benar sendiri dan tidak toleran. Nah...

...daripada janggal dengan pelabelan semacam itu, maka masing-masing sama-sama buka fikiran. Yang merasa lebih modern dan absah manhajnya, lebih terbuka lagi pemikirannya dan perluas cakrawalanya, terutama di bidang Fiqh; karena perbedaan pendapat dalam bidang Fiqh banyak sekali dan akan terus lahir yang baru. Sementara, yang merasa tradisi lama kelompoknya harus diteguhkan dan dipegang, lebih terbuka lagi matanya dan cobalah teropong sudah banyak orang maju di luar sana. Bukan mentang-mentang sudah bercokol lama di negeri ini, lantas tidak mau ikut-ikutan maju dan modern. 

Modern itu sama seperti harta. Tidak tercela secara dzat, namun akan mencelakakan jika cinta kelewat. Dan orang-orang modern, tentu saja hampir semuanya tidak mau mempelajari kitab berwarna kuning dan tulisannya masih kecil-kecil memusingkan. Minimal, cetakan Darul Kutub Islamiyyah Jakarta, dengan cover menarik dan tulisan rapih meski kertasnya kuning, itu sudah enak dibaca orang modern. Dan kondisi tarbiyyah (pendidikan) juga sosial tahun ini tidak bisa disamakan, dikiaskan dan disejajarkan dengan kondisi ketika Jam'ul Jawami' masih dihafal. Sekarang zamannya menghafal jargon iklan dan memahami lawakan politik, Bung. Sudah beda tingkatan. 

Di antara natijah modern dikit adalah pencetakan kitab kuning dengan perbedaan yang saya jabarkan di atas. Kaum tradisionalis juga layak menjadi master teknologi. Syukurlah, akhirnya mereka banyak yang dikirim ke Mesir dan mendapat atmosfir modern dan terbuka sedikit tentang dunia. Kalau ke Saudi belajarnya, ditakutkan para Kyai di perguruannya tidak mengakuinya lagi. Ah, tidak begitu kok. Mudah-mudahan itu cuma mitos.

Yuk, kawan-kawan Salafi dan Salafiyyah, kita pinter dan modern bersama-sama.


No comments:

Post a Comment