Tuesday, January 8, 2013

Pengajian N.A.T.O. [No Amplop Thanks Only]


oleh Hasan Al-Jaizy


Bukan kata 'mungkin' yang saya sematkan, tetapi kata 'pasti'. Ya, itu untuk kalimat ini:

"Pasti ada di antara manusia yang berfikiran bahwa ustadz-ustadz pengajian itu tidak usah diberi apapun, melainkan kalimat: Syukran, Jazaakallahu khaira dan Barakallahu fiik."

Karena ternyata memang itu terwujud. Beberapa ikhwah yang -alhamdulillah- berilmu tinggi, saking mendetailnya dalam menyelami perkara halal dan haram, akhirnya mengharamkan gaji guru agama, ustadz pengajian, hingga menafikan keberadaan yayasan pendidikan agama. Alasannya banyak dan dalilnya bertabur. Tapi, wallahu a'lam, memang bukan perkara mudah untuk memampukan diri menggabungkan antara teks dan konteks.

Seorang ustadz, ataupun guru agama yang sedang magang menjadi Habib, adalah manusia, yang juga membutuhkan sandang, pangan dan papan. Ia juga mempunyai tanggungan. Istri dan anak. Mengkonsentrasikan diri pada ilmu agama dan memusatkan ihtimam [perhatian] padanya bukanlah perkara mudah dan simple. Lebih-lebih jika ia merangkap, sebagai explorer ilmu agama dan ilmu umum. Perlu kecerdasan, tenaga dan motivasi yang kuat.

Jika meninjau secara nalar, justru guru agama itu seharusnya orang yang paling berhak dibantu jika kesulitan secara finansial. Tetapi, di wajah lain, sungguh hinanya guru agama/dai mengandalkan orang lain dalam menghidupi diri dan keluarganya. Bukan mentang-mentang berjasa dan berilmu, lantas hanya menunggu uang datang.

Sebelum para ustadz mempresentasikan pengetahuannya di pengajian, mereka sudah merelakan diri membaca beberapa referensi. Mengumpulkannya. Memahami dengan baik. Bisa berhari-hari, terutama jika pengajian berseri atau daurah. Selayaknya guru apapun bidangnya. Penghargaan untuk para dai/guru agama terawal adalah tsawaab dan ajr [yaitu pahala] dari Allah; namun bukan berarti itu mencegah kita dari memberinya bantuan dan penghargaan atas usahanya.

Karena kita -sebagai hadirin- tidak memahami tepatnya perasaan Pak Ustadz ketika keluar dari majelis, letih berbicara dan kepalanya butuh istirahat, hanya diberi kalimat 'Thanks'. Kita tidak tahu persis hatinya. Ia memang ikhlas memberi ilmu, tetapi ingat: ia juga punya tanggungan. Anak dan istrinya bisa jadi -tanpa sepengetahuan kita- di rumah menunggu sang kepala keluarga [yaitu sang ustadz] pulang membawa nasi uduk dan semacamnya. Boleh jadi ia terlilit hutang. Boleh jadi ia sudah berusaha menegakkan niaga, namun Allah takdirkan bangkrut atau malah merugi sejadi-jadi. Hingga mereka sekeluarga butuh uang makan, biaya pendidikan anak, biaya hiburan keluarga, listrik dan lain-lain.

Lalu dengan gampangnya kita katakan:

"Seorang dai [entah dai murni, ustadz, guru agama dll] tidak boleh [secara mutlak] mengharapkan imbalan dari mad'unya. Sudah patut disyukuri ilmunya tersebar."

Tentu saja mudah berbicara seperti itu. Namun, kehidupan tiap manusia berbeda. Jika kita sukses, kita tidak bisa menjadikan kesuksesan bisnis kita sebagai tolok ukur atau neraca pada orang lain; lebih-lebih para dai. Bukan keanehan jika para thullab al-ilm [pencari ilmu agama] dan para dai adalah orang-orang kere. Ini sudah tercermin sejak zaman Muhammad bin Idris Asy-Syaf'i dan sebelumnya. Isma'il Al-Bukhary juga kala itu miskin sekali. Hingga diceritakan pernah mengurung diri di dalam rumah; disebabkan sudah tidak punya pakaian yang layak digunakan untuk diajak keluar rumah. Manusia pun bertanya-tanya keberadaannya. Mereka temukan beliau di rumahnya dengan pakaian yang compang-camping. Lalu mereka membantunya dengan membelikan yang layak.

Dan kebutuhan manusia di zaman sekarang tidak bisa dikiaskan dengan kebutuhan mereka.

Dalam hal mengambil upah, dai terbagi menjadi 2:

[1] Dai yang sedari awal meniatkan menyebarkan ilmu, meninggikan Islam dan menyeru kepada kebenaran. Namun, ia pun membutuhkan materi, yaitu imbalan demi penegakan hidupnya pula. Materi atau upah bukanlah tujuan asal, melainkan taabi' [ikutan].

[2] Dai yang memang sedari awal meniatkan mencari penghasilan dari dakwahnya dalam keadaan tidak DARURAT. Hanya mencari dunia, entah itu upah, pamoritas dan semacamnya.

Kalau dengan 'enaknya' kita mengatakan dakwah itu harus ikhlas dan tidak boleh mengambil imbalan, terlebih mengharapnya [padahal memang butuh], maka sulit tergambar di kenyataan. Guru-guru agama hanya mendapat 'Jazaakallahu khaira' dan guru-guru matematika mendapat '3 juta plus voucher liburan'. Ustadz-ustadz pengajian tidak usah diamplopi, dan kalau ada makan-makan setelah pengajian, sang ustadz pulang saja; ditakutkan makanan itu adalah imbalan dakwah yang mengikis keikhlasan.

Kita harus memahami sekali lagi ustadz itu juga manusia, punya nyawa dan tanggungan. Bedakan antara ustadz yang 'maju tak gentar membela yang benar' dengan ustadz yang 'maju tak gentar membela yang bayar'.

Ustadz dan habib pembela kebenaran tidak membatasi tarif, tidak memilah tempat karena tarif dan tidak menyindir soal rekening.

Ustadz dan habib pembeda pembayaran membeda-bedakan kajian dengan tarifnya, atau kuantitas audiens dan tidak mengatakan 'ini nomor rekening saya' tanpa diminta.

24 Shafar 1434

No comments:

Post a Comment