Wednesday, January 30, 2013

Wakakakak...Ngustad Kok Masih Bujang?

oleh Hasan Al-Jaizy


Wakakakak...Ngustad Kok Masih Bujang?

Atau, beri judul lain: Masih Bujang Kok Ngustad?

Untuk membalikkan 'ejekan' di atas, cukup dengan kalimat: "Anda yang sudah tidak membujang kok belum bisa jadi ustadz?"

Dan jika ternyata ia adalah seorang ustadz, maka cukup dengan kalimat: "Anda yang sudah ustadz kok menertawai ustadz lain karena bujangnya?"

====================================

Berawal dari status sahabat saya malam ini, Ust. Zarkasih [tanpa tag], yang Jum'at kemarin mendapat peran berdakwah di mimbar hari Jum'at. Beliau sudah biasa khutbah Jum'at. Dan beliau masih 'single'. Bagi yang mau daftar, silahkan untuk tidak mendaftar ke saya; karena saya sendiri menutup pendaftaran, bagi diri sendiri, maupun bagi orang lain.

Nah, sahabat saya ini ditanya oleh seorang pegawai di kantor tempat masjid ia khutbah, "Anak sudah berapa, ustadz?"

Ia menjawab, "Belum. Saya masih single."

""Wah kita kecolongan nih. Besok-besok, khotib ngga boleh bujang, ini harus yang sudah menikah. hehe"", tiba-tiba si pegawai berkata begitu. Lalu 'menasehati'-nya untuk menikah. Sahabat saya menjawab, 'Iya'.

Namun, tawa pegawai dan DKM masjid tersebut memberikan ketidakenakan di hatinya. Dan saya berfikir, wajar perasaan tidak enak itu muncul. Lalu, apa pula kaitan antara khutbah dan kebelum-menikahan?

Seharusnya, jika memang menemukan seorang yang mempunyai keutamaan dalam beragama, entah dari segi dakwah, atau ilmu, atau amalan zahir, lalu tahu ternyata ia masih bujang, usahakan untuk tidak memberikan kesan baginya bahwa ia 'belum pantas' diutamakan. Belum pantas ngustadz. Belum pantas ceramah. Belum pantas berbagi ilmu di tengah para suami yang sudah memiliki atau pernah memiliki istri.

Bisa jadi sang ustadz bujang itu tahu, bahkan hafal dalil-dalil keutamaan menikah dan semacamnya. Namun, baiknya bersikap seperti beberapa ikhwan ikhwani yang kala itu berbuka puasa bersama saya. Begini:

Kami buka puasa bersama di rumah seorang rekan. Semuanya sudah menikah kecuali yang menulis status yang sedang Anda baca ini. Kami dipertemukan Allah setelah sebelumnya tak pernah bertemu. Mungkin melihat bulu-bulu di dagu saya, dikira usia saya sudah melampaui usia mereka. Namun, rekan saya jelaskan bahwa saya ini masih muda. Dan selalu muda, sebenarnya.

Salah satunya bertanya, "Sudah berapa anak?"

"Belum punya, Pak."

"Hmmm....antum masih 'sendirian'?"

"Iya, nih."

"Ooooh..."

Dan mereka sama sekali tak senyum atau tak tertawa. Mereka berfikir apa gerangan alasan saya belum melakukan apa yang mereka lakukan. Lalu, salah satunya bertanya,

"Masih ingin sendiri atau memang ada sesuatu yang harus antum tunaikan atau gimana, akh?"

Pertanyaan semacam itu melegakan. Karena tidak ada kesan menghakimi, melainkan hasrat mengklarifikasi. Dan ini bagus. Sehingga mengajak saya terbuka dan saling memahami. Saya pun menjelaskan secara global apa alasannya.

=================================

Seharusnya, jika seorang yang tua melihat 'kelebihan' pada yang lebih muda, tidak menjadikan umur sebagai tolok ukur keabsahan untuk menampilkan kelebihan itu. Tidak membatin, 'Ah, dia masih muda. Belum merasakan setua saya'. Justru seharusnya lebih berfikir, 'Saya ketika muda juga belum tentu punya kelebihan seperti dia'.

Dan seharusnya, jika seorang yang sudah tidak bujang lagi, melihat 'kelebihan' pada yang masih membujang, dan kelebihan tersebut tidak ada kaitannya dengan bujang atau tidaknya, jangan jadikan perkawinan sebagai tolok ukur keabsahan untuk menampilkan kelebihan itu. Justru seharusnya lebih berfikir, 'Apa saya tidak malu? Dia masih bujang sudah begitu, sementara saya yang lebih senior belum bisa begitu?'

Separuh agama adalah menikah. Namun separuh tanda ketidakmampuan adalah kesombongan, atau kedengkian.



No comments:

Post a Comment