oleh Hasan Al-Jaizy
Boleh saya jujur? Boleh! Harus malah! Daripada saya bohong, kan?
Sejujurnya, saya lebih menyukai diskusi suatu perkara atau beberapanya, dengan orang-orang yang berlatar belakang berbeda. Itu lebih enak SELAMA orang tersebut berlapang dada. Paling minimal, ia tidak memaksa kita harus setuju dengan argumennya. Tapi, argumen syaadz dan gharib [aneh dan beda sendiri] juga diizinkan untuk dileweki. Jangan itu, argumen masyhuur pun tidak apa-apa untuk dijadikan sasaran sarkasme [sindiran].
Itu yang kadang kami lakukan di kelas. Diskusi sambil bercanda, ngenyek, ngece, nyindir, lewek-lewekan, mempertanyakan manhaj golongan masing-masing tetapi tidak memutuskan tali pertemanan dan persahabatan. Kalau masih mahasiswa saja sudah main putus-putusan, nanti saat sudah jadi orang mau main apaan? Hehe...
Kalau berdiskusi dengan 'lawan' bicara yang berlapang dada dan tidak keberatan mendengar pendapat lawan, rasanya enak. Meskipun sebenarnya kita saling bertentangan dalam topik bahasan. Tetapi, kalau sudah tidak suka dan tidak mau diajak duduk berbincang, ya tidak akan pernah enak.
Saya ingat perbincangan privat dengan seorang ustadz. Beliau baru saja pulang dari sebuah rapat dengan rekan se-'manhaj'-nya. Lalu beliau memuntahkan isi hati, "Saya diskusi sama orang dari berbagai ormas, itu lebih enak dan lebih cepat selesai daripada diskusi dengan orang-orang sealiran sendiri."
"Lho, kok bisa begitu?"
"Dikit-dikit ga bisa. Dikit-dikit ga terima. Ga boleh dengan fulan, ga bisa dengan yayasan itu. Waspada berlebihan. Takut 'kelompoknya' pecah. Padahal diskusi dengan kawan sendiri, selairan dan setujuan."
Wah, wah...sayang sekali. Justru secara nalar, sebuah diskusi satu tujuan dengan personel sealiran seharusnya lebih cepat terselesaikan dan mencapai garis finish pemetaan. Tapi, kok begini?
*******
Masalah Ushul dan Furuu'. Ini adalah permasalahan yang saya dan sahabat-sahabat saya masih gamang akannya. Dan juga, permasalahan inilah yang membuat banyak dari kita berbeda-beda pendapat dan warna. Ushul itu apa, cakupannya seberapa, dampaknya apa dan bagiaman? Juga Furuu'.
Karena telinga kami sudah ditalqin berpuluh-puluh kali dengan kalimat, "Ahlus Sunnah boleh berbeda dalam masalah Furuu', namun seragam dalam masalah Ushuul."
Mau kita jawab, 'Ushul itu Aqidah, Furuu' itu Fiqh dan semacamnya'...ini tidak menyembuhkan.
Mau kita jawab, 'Ushul itu perkara dharury, Furuu' itu perkara non-dharury'...ini juga butuh perincian.
*******
Namun, alhamdulillah di mari ada kitab yang sejak tahun lalu saya intip isinya [versi PDF], yang kini versi kitab asli original membahas Ushul dan Furuu' panjang lebar. Setelah dibeli akhir Desember, membacanya saya tunda menunggu UAS selesai. Dan hari ini sudah selesai!
Mari kita selami:
Al-Ushuul wa Al-Furuu', Haqiqatuhuma, wa Al-Farq bainahuma, wa Al-Ahkaam Al-Muta'alliqah bihima, karya Syaikh Dr. Sa'ad Asy-Syatsry, cet. Kunuuz Isbilia.
No comments:
Post a Comment