Sunday, January 27, 2013

Sudah Jatuh, Tertimpa Monas Pula!

oleh Hasan Al-Jaizy



Kira-kira itulah yang tidak saya alami. Suatu hari di Kalimantan sana, tepatnya siang hari, saya berburu hewan air di parit. Parit itu berair. Warnanya merah, akibat pengaruh tanah gambut yang penuh akar. Bau airnya pun mirip aroma kopi dangdut rendaman cucian busuk. Tapi, layak diminum karena bersihnya. 

Parit tersebut kira-kira sepinggang saya dalamnya. Tidak terlihat dasar karena airnya berwarna kemerahan. Saya berniat tanpa berucap 'nawaitu' berburu agar dapat ular. Bersama beberapa murid, kami membawa setrum. Ia berupa jaring kecil dengan tonggak berkayu yang dilengkapi kabel listrik dan stop kontak. Saya yang memegangnya. 

Di suatu stus, di tengah parit yang selebar 1,5 meter itu, ada tonjolan tanah, semacam 'pulau' kecil. Tumbuh di atasnya rerumputan kecil. Karena ingin menjangkau sisi seberang parit dengan setruman, saya pun menginjaknya dengan niatan menjadikannya sebagai bahan pijakan satu kaki. Jadi, satu kaki di tepian, satu kaki di pulau. Rencananya begitu.

Tapi, rencana manusia tak selalu kesampaian. Kiraan manusia kadang hanya telanjang dugaan. Kasih pun tak selalu kesampaian. Ternyata, tonjolan tanah itu begitu lemah. Akibat dari lemahnya ia, saya malah terjerumus turun ke parit. Itu membuat saya menyetrum diri sendiri di dalam air. 

Syukurlah karena paritnya mengalir, tidak begitu cetek dan mungkin aliran listriknya tak begitu kuat membahana, saya hanya diserang keram di kaki saja. Getarannya terasa. 

Getarannya terasa...

Getarannya terasa...

Seperti ketika saya pernah sekali memuji seorang murid [baca: muridah] ABG yang belajar bahasa Inggris hanya sekali pujian normal selayaknya seorang guru memuji muridnya yang mampu menjawab, "Bagus sekali, nak. I like it."

Namun, rupanya kalimat semacam itu memberikan getaran yang bisa membuat jiwanya kaku, kejang, klepek-klepek dan pause sementara. Boneng sekali, kawan. Setelah saya puji dengan simple, dia kehilangan konsentrasi dan gelagepan menjawab soal berikutnya.

Gelagepan....

Gelagepan....

Meskipun saya suka mengamati tepian sungai di desa maupun di kota, tetapi rupanya saya gelagepan kalau berenang. Dulu saat mondok pernah bisa berenang beberapa menit; namun beberapa bulan kemudian lupa lagi. 

Apalagi sekarang, gelagepan sangat. Syukurlah rumah saya tak kebanjiran, kawan. Tidak seperti rumah saudara saya yang kebanjiran bahkan hingga hampir menggenteng terjangannya.

At least, saya bersyukur tidak jatuh dan tidak tertimpa monas.

Tanggal berapa sekarang?

15 Rabi'ul Awwal 1434


No comments:

Post a Comment