oleh Hasan Al-Jaizy
Sebenarnya sedikit atau banyaknya itu relatif dalam masalah kepintaran dan modern. Karena bagi orang bodoh, kepintaran yang sedikit ia anggap banyak, sementara bagi orang pintar, kepintaran yang dianggap banyak itu sangat sedikit. Bodoh dan pintar pun juga relatif. Bagi orang pintar, orang bodoh adalah bodoh. Dan bagi orang-orang bodoh, orang bodoh bisa terlihat pintar.
Modern juga bisa relatif. Bagi wong ndeso yang baru ke kota, ia terlihat kolot sekali dipandang orang kota. Tetapi, ketika ia balik ke desanya, ia terlihat paling modern. Seperti orang bodoh yang bergaul di tengah orang2 pintar, ia akan dianggap bodoh oleh mereka. Tetapi sekembalinya ke tengah komunitas bodoh, ia terlihat paling pintar.
Sekarang, kita mau pintar banyak-banyak atau dikit-dikit?
Atau, mau modern banyak-banyak atau dikit-dikit?
Itu pilihan masing-masing. Anda mau pintar banyak alias banyak tahu dan banyak ilmu, itu bagus sekali; terutama jika ilmu agama. Tapi, bukan banyaknya ilmu semata yang membuat Anda terpuji. Okelah, benar, ketika Anda punya banyak ilmu, manusia akan tunduk dan mengakui. Tapi, tidak mungkin semua manusia tunduk dan mengakui. Lagipula, ketertundukan dan pengakuan mereka tidak kekal. Lebih pahitnya, ada yang pura-pura tunduk dan memuji namun menikam di belakang. Atau, mau pintar dikit-dikit saja? Resikonya besar. Anda tertinggal jauh oleh kawan-kawan yang gigih menuntut ilmu. Ketika kawan Anda sudah ceramah di Istana Negara, Anda malah masih diceramahi emak babeh.
Kalau Anda mau modern sekali, zahirnya ya bagus. Menggunakan, memanfaatkan dan memaksimalkan eksistensi teknologi itu tidak salah. Tetapi, tetap beresiko, kawan. Anda akan membuat banyak orang iri pada barang-barang Anda. Beresiko dicuri barangnya. Kalau ilmu/kepintaran, ketika terlihat jelas di mata manusia, mereka tak bisa mencuri dari empunya. Atau, lebih baik modern dikit-dikit saja? Atau, lebih baik terlihat kere saja, biar tidak ada yang curiga?
Kalau mau cari aman dari manusia, sepertinya sulit mendapat keamanan.
Beberapa tahun lalu, banyak warning agar manusia bertelepon genggam tak menelepon di keramaian. Alasannya: bakal ada orang iri yang ingin merampas kenikmatan dari pemiliknya. Lalu: terjadilah perampokan, penjambretan, pencopetan dan pencurian. Dan sekarang? Semua orang berani menelepon di manapun; bahkan di atas atap kereta rel listrik yang sedang berjalan. No fear. Mau apapun mereknya. Kenapa? Karena:
Sesuatu, jika semakin banyak, semakin mudah atau murah.
Kalau mudah didapat dan murahan, kenapa tidak cari yang lebih mahal? Tapi, selama telepon genggam adalah barang berharga [baca: bisa dijual], why not?
Saya sebenarnya merasa aneh. Sebenarnya saya mau menulis apa, sih? Tapi, bagaimanapun, yang lebih layak dikata aneh adalah Anda. Anda kok bisa-bisanya membaca status ini sampai kalimat ini? Padahal ga jelas. ckckck. Sungguh tralala!
No comments:
Post a Comment