Monday, January 7, 2013

Cerita Tentang Asa


oleh Hasan Al-Jaizy

[1] Ketika masih kecil, saya ingin suatu saat bisa tinggal di desa, setelah menyaksikan tiap Ahad acara 'Anak Seribu Pulau' dan 'Wiro Sableng 212'. Dan Allah menjawabnya. Saya tumbuh meremaja di desa Butuh, Kecamatan Tengaran, Salatiga, Semarang. Di Perguruan Sisir Putih, yang terletak di kaki Gunung Merbabu.

[2] Ketika hampir lulus, saya berharap akan tinggal mengabdi di daerah hutan-hutan selama beberapa masa. Dan Allah menjawabnya. Saya kemudian tinggal setahun di Perguruan Tarekat, daerah pelosok Pontianak.

[3] Ketika masih SD, saya suka menulis cerita dan dibaca teman atau guru. Ketika meremaja, saya suka menulis cerita dan artikel, dibaca makhluk hidup di pondok. Dulu, sempat berharap semoga kalimat-kalimat dari jemari saya tidak mati, masih ada manusia yang membaca jerihnya setelah lulus sekolah. Namun, beberapa tahun saya tidak menemukan wadah yang pas dan motivasi kuat untuk menulis kembali. Dan Allah menjawabnya. Kini tercipta jejaring sosial. Wadah untuk menulis dan mengajak manusia untuk menulis. Tidak masalah jika manusia mempermasalahkan banyaknya tulisan. Tidak sudi dengan eksistensi seseorang? Maka enyahkan eksistensi-nya dengan tekan Remove Friendship atau Block This Alien sekalian.

Kini harapan saya: semoga bisa membuat karya ilmiah dan menyusunnya hingga menjadi buku. Mungkin bukan tahun ini itu terjadi. Tapi jika Allah memberi keluasan daya dan kepanjangan umur, semoga Allah menjawab harapan ini. Karena saya iri pada para penulis buku; mereka bisa melakukannya. Saya sangat iri pada para ulama, mereka bisa menyusun karya hingga berjilid-jilid. Untuk menyembuhkan iri tersebut, kita harus mulai dari sekarang. Membiasakan dahulu hingga benar-benar terbiasa. Banyak manusia tinggi harapan, namun enggan membiasakan, yang kemudian: berakhir pada ketiadaan. Tidak harus sekarang atau esok harapan itu terjadi. Allah lah yang Maha Tahu segala hikmah dan maslahat.

[4] Ketika awal mengajar di Depok, saya ingin mempunyai kenalan anak UI, namun malu merasa. Allah pun menjawabnya. Kita pun berkenalan. Setelah berkenalan, saya berharap bisa lebih dekat atau bahkan belajar bersama mereka. Allah pun menjawabnya di suatu ketika. Kita belajar bersama di kelas mereka. Dan jika sekarang kita berharap kelak akan menjadi pemimpin dan pembimbing mereka, semoga itu bukan harapan yang buruk. Tidak harus sekarang atau eso, karena Allah lah Yang Maha Kuasa.

[5] Semoga tahun depan saya diberi karunia seorang pendamping hidup yang cantik dan salehah. Yang sedari tahun kemarin, sudah saya persiapkan nama-nama harapan untuk anak saya kelak:

a. Muhammad Shalih, karena Muhammad Shalih Al-Munajjid dan Muhammad Shalih Al-Utsaimin memiliki kesan di hati. Semoga keturunan saya kelak seperti kedua orang itu. Jikalau tidak sepertinya, setidaknya semoga Muhammad [terpuji] dan Shalih [saleh].

b. Raudhah Nazirah atau Jannah Munaadzirah, untuk nama anak perempuan. Tersebab sebuah kitab Ushul Fiqh karya Ibnu Qudamah. Saya ingin sekali punya anak bernama Raudhah [taman].

c. Kifaya Al-Akhyaar, untuk nama anak laki-laki lainnya. Panggilannya Akhyar. Insya Allah ia akan menjadi pemimpin orang-orang terpilih. Insya Allah. Kifayah Al-Akhyar adalah nama sebuah kitab Fiqh bermadzhab Syafi'i yang banyak dipelajari di negeri ini. Saya berhasrat menjadikannya nama anak kemudian, setelah menemukan sebuah kitab usang bercover merah jambu di gudang rumah [gudang rumah saya berisikan buku], tertulis 'Kifayatul Akhyar' dan di balik cover ada nama emak saya. Tertanggal tahun 70-an. Emak saya adalah pelajar dahulu kala, mempelajari Fiqh Syafi'i dan Mantiq pula; karena sekolah di sekolahan Syafi'iyyah Jakarta. Setelah melihat catatan dan goresan tangan emak saya di kitab yang berumur 40 tahunan itu, mulai muncul hasrat menamakan anak kelak dengan nama kitab ini.

...harapan adalah harapan, jika ia terjadi, maka itu atas izin Allah, jika itu tidak terjadi, maka Allah memiliki hikmah dan kelembutan tersembunyi.

Boleh jadi
kita wafat
sebelum harapan

terwujud...

DI lain sisi:

saya berharap teman-teman sekelas saya yang shaleh insya Allah, menjadi para asaatidzah dan pembimbing kaum muslimin; pembela Islam dan penentang kaum kafir dan munafik. 

Di lain sisi:

saya berharap teman-teman yang tak pernah saling bertemu di dunia nyata namun saling mencintai karena Allah [bukan karena harta, jasa, mencari jodoh semata, atau mantu semata dan lainnya], dipertemukan dalam keadaan hati mereka yang selamat di surga kelak.

Harapan adalah harapan, biarpun itu semua di bawah kehendak Allah, namun selama memang kebaikan, kita harus yakin Allah menjawab harapan itu.

No comments:

Post a Comment