oleh Hasan Al-Jaizy
Niat itu ibarat akar; pusat dari tumbuhan. Ia bertempat di hati. Dan hati pun adalah pusat anggota tubuh. Jika sebuah akar cacat menjalar, maka jangan bertanya jika badan dan rantingnya mewakili cacatnya akar. Begitu pula hati, jika dirimu cacat berhati, maka barang tentu perilakumu cacat terjadi.
Bukankah ada orang pintar sungguh-sungguh, namun ia terjebak dalam kesesatan!? Yang selagi muda dahulu memiliki prestasi dan diharap kelak menjadi wakil terbaik dalam generasi. Namun ketika meneguhkan bendera di puncak, ia justru mengganti bendera kebenaran dengan slogan-slogan setan.
Kemungkinan terbesar penyebabnya adalah penyimpangan niat.
Jika niat seseorang begitu tulus, ikhlas, dan murni demi penghambaan terhadap Allah dalam beramal, kecil ataupun besar amalan itu, maka bisa jadi niat tersebut bernilai lebih besar dari amalan. Sebaliknya, sebuah amalan semegah apapun bisa terbatalkan nilainya di sisi Allah hanya karena niat yang cacat. Meskipun sudah berkeping emas tertunaikan, dan meskipun sudah berkolam keringat terperaskan.
Maka, mari kita luruskan niat dalam mencari ilmu. Niat yang salihah insya Allah menjadi penyebab berkahnya ilmu kita. Terkadang ilmu tidak dinilai dari kuantitasnya; melainkan manfaatnya. Ilmu yang bermanfaat akan mendorong pemiliknya untuk mengamalkan, lalu menyebarkannya. Dan jika ilmu yang kita sebar bermanfaat dan dimanfaatkan orang lain, insya Allah, itu adalah alamat keberkahan.
Perhatikan hati!
Sesungguhnya mencari ilmu syar'i adalah seagung-agung amalan; karena dengan ilmu syar'i, amalan syar'i akan tertegak dengan baik. Mencari ilmu syar'i adalah sebuah ibadah yang membutuhkan pula asas. Asas pertama ada di hati. Yaitu keikhlasan.
Sebagaimana masyhur sudah firman Allah yang mulia ini:
وَمَآ أُمِرُوٓا۟ إِلَّا لِيَعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلْقَيِّمَةِ
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan (IKHLAS) kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus." [Q.S. Al-Bayyinah: 5]
Maka sudah bukan asing lagi bahwa keikhlasan adalah sepenting-penting kepentingan sebagai asas dari segala amalan, baik itu pentingnya maupu tidaknya.
Sebagaimana masyhur sudah firman Allah yang mulia ini:
وَمَآ أُمِرُوٓا۟ إِلَّا لِيَعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلْقَيِّمَةِ
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan (IKHLAS) kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus." [Q.S. Al-Bayyinah: 5]
Maka sudah bukan asing lagi bahwa keikhlasan adalah sepenting-penting kepentingan sebagai asas dari segala amalan, baik itu pentingnya maupu tidaknya.
Niat itu ibarat akar; pusat dari tumbuhan. Ia bertempat di hati. Dan hati pun adalah pusat anggota tubuh. Jika sebuah akar cacat menjalar, maka jangan bertanya jika badan dan rantingnya mewakili cacatnya akar. Begitu pula hati, jika dirimu cacat berhati, maka barang tentu perilakumu cacat terjadi.
Bukankah ada orang pintar sungguh-sungguh, namun ia terjebak dalam kesesatan!? Yang selagi muda dahulu memiliki prestasi dan diharap kelak menjadi wakil terbaik dalam generasi. Namun ketika meneguhkan bendera di puncak, ia justru mengganti bendera kebenaran dengan slogan-slogan setan.
Kemungkinan terbesar penyebabnya adalah penyimpangan niat.
Jika niat seseorang begitu tulus, ikhlas, dan murni demi penghambaan terhadap Allah dalam beramal, kecil ataupun besar amalan itu, maka bisa jadi niat tersebut bernilai lebih besar dari amalan. Sebaliknya, sebuah amalan semegah apapun bisa terbatalkan nilainya di sisi Allah hanya karena niat yang cacat. Meskipun sudah berkeping emas tertunaikan, dan meskipun sudah berkolam keringat terperaskan.
Maka, mari kita luruskan niat dalam mencari ilmu. Niat yang salihah insya Allah menjadi penyebab berkahnya ilmu kita. Terkadang ilmu tidak dinilai dari kuantitasnya; melainkan manfaatnya. Ilmu yang bermanfaat akan mendorong pemiliknya untuk mengamalkan, lalu menyebarkannya. Dan jika ilmu yang kita sebar bermanfaat dan dimanfaatkan orang lain, insya Allah, itu adalah alamat keberkahan.
Perhatikan hati!
No comments:
Post a Comment