oleh Hasan Al-Jaizy
CERITA/CURHAT seorang ibu yang saya dengar secara LIVE in the real LIFE:
"Kami kini dalam keadaan miskin setelah bergelimang kaya sebelumnya. Dan sebelum kaya, kami berawal pada kemiskinan pula. Kala itu, sekitar 20 tahun lalu, di puncak kemiskinan, suamiku pernah berkata dengan nada biasa, "Sepertinya kita miskin karena aku menikahimu."
Lalu kalimat itu menancap dan menjadi hujaman tertajam di
CERITA/CURHAT seorang ibu yang saya dengar secara LIVE in the real LIFE:
"Kami kini dalam keadaan miskin setelah bergelimang kaya sebelumnya. Dan sebelum kaya, kami berawal pada kemiskinan pula. Kala itu, sekitar 20 tahun lalu, di puncak kemiskinan, suamiku pernah berkata dengan nada biasa, "Sepertinya kita miskin karena aku menikahimu."
Lalu kalimat itu menancap dan menjadi hujaman tertajam di
hatiku. Bertahun-tahun tak terlupakan. Kini, saat kembali kami mengecap empedu kemiskinan, suamiku memohon maaf atas ucapan tersebut.
Aku tak bisa...tak bisa memaafkan hal itu; karena bertahun lamanya menjadi luka yang takkan sirna bekasnya di hati. Aku sudah terlanjur sakit hati hingga kini. Hanya kalimat itu yang tak bisa kumaafkan. Selainnya dari kesalahan, besar atau kecil, tak setakar dengan kalimat itu."
Aku tak bisa...tak bisa memaafkan hal itu; karena bertahun lamanya menjadi luka yang takkan sirna bekasnya di hati. Aku sudah terlanjur sakit hati hingga kini. Hanya kalimat itu yang tak bisa kumaafkan. Selainnya dari kesalahan, besar atau kecil, tak setakar dengan kalimat itu."
Mendengar cerita itu, saya terdiam beberapa lama.
Sang ibu ingin menumpahkan danau kepedihannya lewat mata, namun urung itu terjadi. Ia cukupkan dengan bait-bait kata yang mengalir seperti sungai hitam yang membawa wabah penyakit.
Sang ibu ingin menumpahkan danau kepedihannya lewat mata, namun urung itu terjadi. Ia cukupkan dengan bait-bait kata yang mengalir seperti sungai hitam yang membawa wabah penyakit.
"Sepertinya kita miskin karena aku menikahimu"
kalimat di atas remeh namun bisa tak termaafkan
kalimat di atas remeh namun bisa tak termaafkan
No comments:
Post a Comment