Wednesday, July 17, 2013

Mahasiswa Pelayar Comberan!

oleh Hasan Al-Jaizy

Budaya ngospek para plonco (calon maba yang sedang ikut kegiatan pengenalan terhadap kampus) dengan tarekat-tarekat HINA, meskipun atas nama 'Pengenalan Kampus' atau semacamnya, adalah budaya mahasiswa-mahasiswa rendahan yang sedang kuliah di kampus rendahan. Mahasiswa dan kampus yang menjunjung tinggi nilai pendidikan, moral dan kualitas didikan, tidak akan rela calon-calon penghuninya dihinakan, oleh mereka sendiri.

Syukur, tidak pernah di kampus saya ada planca-ploncoan. Bagi kami, hanya mahasiswa bodoh yang seperti itu. Menjadikan para maba terlihat bodoh, padahal mereka sendiri juga tergolong bodoh.

Selain itu, para mahasiswa yang merasa senior dan mengenal kampus, lagaknya seperti sudah layak dianggap senior dari segi kualitas. Mirip mayoritas mahasiswa pendemo; rata-rata mereka itu yang hobi tidur di kelas, main game di lingkungan kos, begadang dan hidup kesehariannya cuma bernilai lawakan rendah saja. Dan, menjelang hari ospek, mereka tiba-tiba menjadi orang paling sibuk dan paling terlihat seolah ingin 'mendidik'.

Andai memang mereka belajar sungguh-sungguh dan punya ilmu tinggi, takkan rela mereka mencoret-coret muka para calon mahasiswa, menyebut mereka binatang, menjadikan mereka serendah binatang, meminta memakan hal yang tak layak dimakan, memaksa mereka memakai aksesoris yang memicu gelak tawa dan banyak lagi. Para mahasiswa senior yang bodoh senang dan girang melakukan ini. Dan jika dosen-dosen mereka menjadikan hal semacam ini hal yang wajar, biasa, atau malah hiburan, maka...begitulah. Like dosen like mahasiswanya.


Seolah-olah jika sudah ngospek calon mahasiswa dengan cara seperti itu, maka sudah 'kenal' dengan kampus? Well, jikalah itu disebut 'pengenalan terhadap kampus', saya fikir itu lebih layak disebut 'pengenalan terhadap kebodohan orang-orang kampus' tersebut. Tidak peduli, meskipun disusupi pengenalan benar-benar akan bangunan, peta, dan atmosfir kampus. Selama cara memperkenalkannya adalah cara bodoh, maka tetap bodoh.

Dan kebodohan itu akan terwariskan, entah disebabkan dendam, atau memang menjadi tradisi kampus. Karena, jika satu kampus mayoritasnya berisi keledai yang di masa demo berubah menjadi singa, dan di masa ospek berubah menjadi serigala, maka akan tercetak kemudian generasi keledai berikut. Saat demo, mengaum sana sini mirip singa, padahal taring pun tak punya. Saat ospek, seram seperti serigala, namun sambil melirik sana-sini siapa tahu ada yang cakep.

Mahasiswa datang ke kampus untuk belajar. (Well, fine, sebagian memang datang untuk gaya-gayaan). Dasarnya, mereka ingin belajar, mencari pengalaman, pencaharian ilmu dan lainnya yang bermanfaat. Orang tua mereka membiayai demi kesejahteraan. Ploncoisme yang tak terdidik dan tak mendidik seharusnya WAJIB dihapus dari semua kampus. Jika ternyata kedunguan semacam ini masih ada di kampus-kampus besar nan terkenal, maka jangan heran kelak kampus itu akan mencetak generasi rendahan. Dan syukurnya, kampus-kampus besar memiliki beberapa Fakultas, yang di dalamnya bercabang menjadi beberapa jurusan, kemudian terbagi-bagi menjadi beberapa kelas. Jika di jurusan X masih memakai metode ploncoisme satanis, mungkin semua jurusan selainnya tidak seperti itu; sehingga tidak bisa digeneralisir dalam satu kampus.

Mental 'sok senior' mahasiswa senior yang otaknya kurang diisi materi pelajaran tapi malah diisi nama-nama gebetan atau game atau lainnya, harus dihilangkan dengan cara menghilangkan metode plonco yang menunjukkan rendahnya akal mahasiswa.

Jika saya melihat kumpulan calon mahasiswa baru diposisikan begitu hina dalam kegiatan ospek, bisa saya pastikan bahwa senior mereka yang sedang berdiri dan berteriak dengan congkaknya di depan mereka itu, atau yang sedang berkacak pinggang atau melipat tangan di dada mengawasi mereka itu, adalah mahasiswa-mahasiswa kelas cetek. Ditanya tentang materi pelajaran, mereka akan melempem. Gertakan mereka karena congkak dan merasa senior saja. Padahal isinya kosong. Dan jika mayoritas mahasiswa di suatu kelas atau jurusan tak berisi, menunjukkan ada yang salah pada sistem atau lingkungan pendidikan mereka, atau pada dosen-dosen mereka. Dan yang saya sebut kedua, saya fikir adalah penyebab terbesarnya.

No comments:

Post a Comment