Sunday, July 14, 2013

Manhaj Takut-takutan...Manhaj Ridha Manusia

oleh Hasan Al-Jaizy



[1]

Beberapa orang takkan pernah mau membagi pengetahuan yang dinisbatkan pada orang-orang berilmu seperti Aidh Al-Qarny, Salman Al-Audah, Sayyid Quthb dan lain-lain. Seolah tak pernah sebait pun mendapat faedah dari mereka. Padahal, ada semacam ini yang diam-diam membaca karya mereka. Namun, tidak pernah mau berbagi dan tak hendak mengkaitkan hal pada orang seperti mereka.

Alasan dibuatnya: mereka punya ketergelinciran.

Alasan sebenarnya: saya takut ditahdzir.

Karena jika kelompok Anda (sebenarnya bukan kelompok, namun tetap saja layak disebut kelompok di sisi lain) sudah menumbangkan nama seseorang ramai-ramai, sebagiannya akan ikut-ikutan. Membeo dan membebek.

Dibanding menukil kalam emas dari pemilik nama-nama yang tersebut di atas, sepertinya lebih baik menukil kalam abangan Mario Teguh, Pak Presiden, Pak Menteri dan lainnya. Kenapa? Karena nama-nama tersebut 'aman' dari penumbangan.

[2]


Beberapa orang sedari dahulu sudah memiliki HP berkamera. Awalnya mengharamkan foto makhluk hidup. Tapi, HP berkamera. Kemudian, baru tahu ternyata hukum foto makhluk hidup diperselisihkan ulama. Mulailah memotret makhluk hidup, termasuk wajahnya sendiri, jika memang dia adalah makhluk hidup.

Namun, soal memajang foto makhluk hidup di jejaring sosial? No Way!

Karena saat itu, kawan-kawannya antipati dengan gambar makhluk hidup. Sebagian biasa saja, dan sebagian bersikap keras. Dan yang bersikap keras melarang pemajangan foto makhluk hidup pun, sesekali atau bahkan seringkali memelototi gambar-gambar makhluk hidup di Internet.

Beberapa masa kemudian, ternyata ada beberapa orang yang sekiranya kenal 'dakwah Sunnah' namun biasa saja soal foto makhluk hidup. Beberapa meng-uploadnya. Bahkan beberapa menampilkan wajahnya. Mulai goyah. Mulai semakin ada keinginan melakukan hal serupa.

Kemudian, ada beberapa orang yang sepemikiran dalam beragama dengannya namun lebih berilmu, juga memasang tampang. Makin goyah. Foto-foto makhluk hidup koleksinya dielus-elus sambil berfikir, 'Kalo aye upload, kena tahdzir ga ya?' Lalu, karena merasa sumpek dan tidak mau bimbang berlarut, mulailah memasang foto makhluk hidup. Diawali dengan foto binatang dulu. Mungkin ia lebih pede menampilkan muka binatang daripada mukanya. Atau, ia memang sedang mencari jalur 'aman'? Supaya apa? Supaya jika ada bata tahdzir terlempar, yang kena adalah binatang tersebut, bukan mukanya.

Setelah sukses mengupload beberapa bintang, ia menggumam, 'Wah, ternyata tidak ada yang melarang dan mentahdzir.'

Akhirnya, mulai memotret bagian dari dirinya. Diawali dengan ihwal kecingkrangannya. Biasanya ditambahi dengan sendal Eiger. Pokoknya, gaya Wiro Sableng (celana mengatung + sendal gunung) dipakai. Atau, sepatu. Mulai ada kemajuan. Dari yang tadinya muka binatang, kini beralih ke ceker.

Lama-lama, justru dia melihat beberapa kawannya semakin berani menampilkan bagian-bagian dari makhluk hidup. Dan tidak ada tahdzir berarti. Jika ada tahdzir, ternyata sudah siap dengan 'pembenaran', yaitu copas faedah dari situs maupun blog yang mengatakan bahwa ini masalah khilafiyyah.

Maka, mulailah merambat ke jenggot. Foto jenggot. Kemajuan lagi. Berawal dari muka binatang, lalu ke ceker, sekarang ke jenggot. Masih belum berani menampilkan muka. Masih malu-malu.

Semakin lama, akhirnya mulai menampilkan setengah atau bahkan full badan, tapi tidak secara 'straight'. Ada gaya tersendiri. Misalnya:

--> Foto dari belakang
--> Mukanya ditutup

Langkah-langkah semacam ini sudah mirip perawan baru kena lamaran saja. Nanggung sekali. Justru yang seperti ini seharusnya yang membuat penasaran. Mirip dengan para perawan dan perawati yang senang membuat perjakawan dan perjakawati penasaran. Tapi, kemajuan orang semacam ini ganjil, janggal dan aneh.

Dan biasanya, pose semacam itu dimaksudkan agar dikomentari. Dan para komentator -yang konyolnya adalah sesama jenis- seolah teriak-teriak histeris penasaran akan wajahnya. Justru yang seperti inilah yang mempunyai kadar narcissisme lebih janggal. Atau mungkin merasa 'tawadhu' dengan rupa wajahnya. Maksudnya: "ingin pamer wajah, namun kepalang tanggung ga merasa layak dipamerkan".

Kalau dahulu, tidak pamer wajah karena takut ditahdzir. Kemudian, tidak pamer wajah karena takut disindir. Kini, tidak pamer wajah karena takut pada nyinyir.

Ah, apalah daya...pucuk dicinta gerobak nasi ulam pun tiba...

Ternyata beberapa ustadz malah menampilkan wajahnya...Tambah berfikir keras, 'Apakah aku harus tetap mempertaruhkan wajah di balik tirai atau aku ikut mereka?'

Wait! Sebenarnya ga perlu gelisah, kok. Justru kita yang bertanya: "Emang penting gitu buat kita ngeliat wajah ente?"

Ya bagusnya jangan merasa wajahnya penting banget dengan memancing orang penasaran. 'Biar pada penasaran dulu wajah ane kayak gimana. Entar tanggal mainnya bakal ane singkap!' Dan dhuaar...sekali tersingkap wajahnya, ga ada yang komentar...

Kecewe sekale kayaknye...

[3]

Kapan-kapan lagi lah...

Ini cuma iseng-iseng saja, kok. Saya tidak menyebutkan nama dan ciri-ciri fisiknya, lho. Kalau dalam tulisan ini ada kesamaan perilaku, langkah, dan tingkah dengan Anda punya, ya memang tulisan ini tentang Anda. Maka, selamat berbunga-bunga ya...

No comments:

Post a Comment