Monday, July 15, 2013

Rumah Bata dan Rumah Kaca

oleh Hasan Al-Jaizy

[Risalah Jaiziyyah: “Rumah Bata dan Rumah Kaca”]

Sepertinya rumahmu adalah rumah bata. Yang kau saksikan hanyalah kekerasan dzatnya. Jika kau memukulnya berkali-kali, semakin tahumu akan kekerasannya. Melunakkannya adalah igauan tak bermakna. Hendakkah kau akan mengganti kayu daripada bata? Orang-orang akan mencela. ‘Apa kau tidak bersyukur?’ dan ‘Apa kau tak suka kokohnya rumah semula?’ tubi mereka.

Sepertinya kau perlu juga membangun rumah kaca. Kaca, tidak sembarang kaca. Melainkan cermin ia adanya. Agar terlihat dirimu benar-benar sebagai penghuninya. Di mana-mana, terlihat ragamu. Kau tahu rapih atau tidaknya kau berbaju. Kau tahu di mana letak kekurangan agar bisa tampil kemudian tanpa ragu. Efek rumah kaca. Bata takkan menjawab engkau seperti apa. Namun, cermin selalu menjawab sejujur-jujurnya. Kecuali...

Jika engkau memecahkan kaca-kaca. Meskipun kau menangis darah sembari menyusun tiap kepingnya, takkan pernah ia kembali mulus seperti semula. Teledornya engkau berbuah penyesalan. Kaca takkan jujur menggambar siapa kamu kemudian. Seperti pula kau punya istri. Duhai engkau, yang berjasad bata, berhati baja dan berjiwa ksatria, kau tercipta kuat, gagah dan berani. Jika hati kekasihmu kau pecahkan sekali dengan sepecah-pecahnya pecahan, ia takkan kembali. Jika dahulu ia berbicara tulus dengan sayangnya, setelah hancurnya ia berbicara dengan air mata.

Sebaik-baikmu adalah sebaik-baikmu pada keluargamu. Dan Rasulullah adalah sebaik-baik manusia pada keluarganya.

Kau ibarat rumah bata. Dia ibarat rumah kaca. Jika segenggam bata kau lempar ke kaca, pecahlah kaca. Jika segenggam beling kau lempar ke bata, tanganmu terluka dan bata tak berubah adanya. Maka, rawatlah kaca-kaca dan jangan kiaskan kaca dengan bata. Bekerjasamalah keduanya. Bata akan tahu kekerasannya ketika ia bercermin pada kaca. Kaca akan tahu kelemahannya ketika ia dipertemukan dengan bata.  

Bata seringkali tak tahu diri. Ia berwujud kasar lalu berjalan di atas kaca. Kaca tergores. Rusak satu kali. Kemudian, dua kali. Kemudian, tiga kali. Dan seterusnya. Kaca pun seringkali lebih mengingat kekurangan bata dan seolah tiada ia berjasa.

Aku pernah diceritakan oleh seorang cermin perihal satu kalimat yang diucapkan oleh pasangannya, yaitu seorang bata yang ceroboh bicara. Dahulu, di awal mereka bersatu, diujilah mereka dengan kemiskinan. Lalu, si bata berkata pada si cermin, “Sepertinya aku miskin karena berpasangan denganmu.” Hancur hancurlah hati si cermin. Ia pun melayu. Permukaannya menjadi lembab seolah baru saja melewati malam berembun. Menangis. Bertahun-tahun ia mengingat kalimat itu. Dan selama itu pula, ia tak bisa memaafkannya.

Aku pernah diceritakan oleh seorang bata perihal satu kalimat yang dihikayatkan penyebab cermin-cermin banyak yang dipanggang di lembah Jahannam. Dahulu, si bata telah bekerja keras mencari kayu bakar agar kepulan asap dapur tetap terjaga. Lalu, hiduplah ia dengan pasangannya, seorang cermin, dengan bahagia. Si bata berlarut-larut dalam pelukan zaman berbuat baik pada si cermin dan memuliakannya. Namun, suatu kala, ketika si bata terjatuh, kebahagiaan pun surut seketika. Berganti kesengsaraan. Si cermin, yang terlanjur terbiasa dibahagiakan sebelumnya, tidak terima dengan keadaan. Ia meminta dibelikan ini dan itu untuk mempermulus permukaannya. Si bata menolak. Tak punya apa-apa ia. Itu alasannya. Bukan karena tiada cinta. Namun, si cermin berkata, “Kamu selalu begitu. Tak pernah kamu berbuat baik padaku.” Maka, marahlah si bata. Dan kalimat semacam itulah yang menambah kobaran dan jilatan api Jahannam semakin seram.

Andai bata dan kaca sama-sama tahu, ia adalah pakaian bagi ia, dan ia adalah pakaian bagi ia. Bata pelindung kaca kala terancam oleh serangan luar. Kaca pelindung bata kala ada yang mencari-cari kesalahan atau aibnya. Bata menjaga fisik kaca agar senantiasa halus. Kaca menjaga rahasia bata agar senantiasa berwibawa.

Di balik kekokohan sebuah rumah berbata, di dalamnya pasti ada cermin-cermin.

No comments:

Post a Comment