Friday, October 26, 2012

Ada Pelangi Di Bola Mata Mereka


oleh Hasan Al-Jaizy

Lalu kita berlarian bersama ketika melihat puncak gunung sudah dekat. Awan-awan di sekitar membekukan keringat dan melecutkan semangat tuk cepat sampai tujuan. Dahulu ketika kita masih berada di kaki gunung terdasar, kita selalu berkata, "Seandainya aku nanti di puncak, aku akan....." Selalu seperti itu. Khayalan masa lalu yang terkesan angkuh, mendayu-dayu, muluk-muluk dan melangit.

Berzaman lamanya kita hasrati berdiri di puncak gunung. Kita akan mencengkram gunung. Kita akan menancap jejak. Kita akan berteriak gembira. Kita akan memandang ke bawah.

Capek-capek tak peduli. Yang terpenting adalah kita sampai ke sana. Puncak impian. Gemilang cahaya. Dan akhirnya sampai. Teman-teman berteriak gembira. Tangan-tangan terkepal bahagia. Yang diimpikan sudah ada. Yang dirajuk sudah terwujud. Lalu, apalagi?

Lalu, apalagi?

Lalu, apalagi?

Tidak ada apa-apa lagi.

Lalu kita mendekam dalam kebisuan. Lalu, apalagi? Tidak ada apa-apa lagi. Kami pun memutuskan untuk ke bawah kembali. Lalu, kenapa setelah ke puncak, kembali ke bawah? Kenapa setelah terwujudnya mimpi, kembali kabur darinya?

Kita kemudian masih berfikir dengan mulut-mulut terkunci. Teman-teman serasa ada sesalan mengapa berteriak di puncak. Tidak adakah laku yang lebih berarti dari semua itu? Di mana kebahagiaan yang seolah terjanji setelah mewujudkan mimpi???

Di kaki gunung, kami beristirahat. Di sebuah desa. Kami melihat orang-orang desa hilir mudik di jalan itu. Mereka terlihat ramai melakukan aktifitas masing-masing. Lalu, kita melihat beberapa nenek-nenek membawa kayu-kayu besar di pundaknya. Ada pula yang membawa segumul besar dedaunan. Besar sekali. Tapi, tiap mereka bertemu satu sama lain, selalu senyum terlempar. Dan tiap lemparan dibalas lemparan yang lebih lebar. Mirip sekali dengan tingkah kita ketika mendaki gunung ini.

Tapi, kita telah kehilangan tingkah itu. Kini, kita murung. Kenapa? Kenapa? Karena tiada kepuasan terabadikan meski sudah memuncaki gunung. Sementara mereka, penduduk desa, belum tentu sudah pergi ke sana [puncak]. Kenapa mereka terlihat lebih berbahagia dan menang dibanding kita?

Aku mencoba menatap mata-mata mereka. Menyeruak apa yang tersirat di balik jendela hati itu. Dan kudapati pelangi di bola mata mereka. Warna-warni ceria nan tulus jua murni tanpa dibuat-buat. Tiada mereka inginkan menang atas selainnya. Mereka inginkan atas hingga bawah berwarna-warni serupa. Layaknya pelangi yang selalu berseragam dalam ragam warna.

Karena itulah, mereka menggambarkan senang selalu setelah derasnya hujan. Tidak seperti kita, hanya membaitkan puisi-puisi ketidakpuasan setelah diberi senang.

Begitulah kita, yang ingin menang atas segalanya...hanya untuk kepuasan semata. Berbagilah kebahagiaan sekala kapanpun masa berzaman, dan zaman akan mengembalikan kebahagiaan di lembaran lain. Semua atas izin Allah... hikmah-Nya teramat sangat luas.

No comments:

Post a Comment