oleh Hasan Al-Jaizy
Era 90-an, lebih tepatnya sekitar 1997, ada sebuah lagu yang
salah satu petikan liriknya tak terlupakan.
"Aku heran....aku heran..."
Itu adalah salah satu lagu yang populer di masa saya masih
bersekolah SD, di samping 'Mungkinkah', 'Gerimis Mengundang' dan lainnya.
Karena saya saat itu masih SD, mungkin di antara pembaca yang tiba-tiba merasa
lebih 'senior' akan menggumam, 'Wah, itu mah masa-masa saya SMA'.
Saya sendiri tidak hafal liriknya, namun selalu teringat lirik
tersebut 'dipleseti' oleh teman saya ketika itu. Teman saya bernama Faris.
Teman SD saya. Asalnya:
aku heran, aku heran
yang salah dipertahankan
aku heran, aku heran
yang benar disingkirkan
Malah si Faris menyanyikannya menjadi:
aku heran, aku heran
yang laki jadi perempuan
aku heran, aku heran
yang laki jadi perempuan
[Perahu Retak]
Musibah terbesar adalah jika seorang penggembala ternyata tidak
peduli dengan gembalaannya. Seorang kepala keluarga yang menyia-nyiakan anggota
keluarga dan menelantarkannya. Seperti kata Ibnul Jauzy dalam Shaid Al-Khathir
bahwa cukuplah seorang bapak berdosa jika ia pasrah dengan takdir sembari
menunggu datangnya rizki tanpa usaha memperbaiki kondisi ekonomi sehingga
melaparlah anak dan istri.
Juga, jika seorang pemimpin yang menjabat sebagai kepala negara,
atau kepala perusahaan, direktur bahkan guru sekalipun yang sengaja membiarkan
keretakan menyebar ke seluruh kayu bahtera.
Ketika kau membela nama-nama dengan kepalsuan pembelaan,
pembelaanmu tak bernilai. Tidak disebut manusia jika ia tak punya salah. Tidak
usah menjadi manusia jika mengharamkan adanya kesalahan pada diri. Jika kau
tahu itu, maka tak perlu lah secara berlebihan menentang kalimah-kalimah kritik
yang tertuju pada orang-orang besar dan sejatinya tidak tertuju untukmu.
Kritik yang sopan memiliki nilai tersendiri, meskipun isinya
belum tentu berarti, namun setidaknya manusia sudah berusaha berbudi.
Sayangnya, di zaman ini negeri-negeri tak ingin dikritik. Negeri-negeri merasa
pongah dengan kehebatan mereka. Negeri-negeri yang dikuasai gurita malam. Jika
engkau macam-macam berbicara di majelismu, kau harus tahu gurita telah mengirim
intel. Ia berjubah serupa denganmu. Ia mencatat dan merekam semua hembusan
lisanmu. Dan jika kau menentang keputusan gurita yang memang begitu gulita,
seolah nyawamu takkan berlanjut lama di raga.
Namun, kebanyakan manusia begitu tertipu membela. Sementara
mereka tidak tahu, seperti apa rasanya diawasi kaum gurita. Dan mereka tidak
tahu, bahwa banyak pemutarbalikan fakta dan pemalsuan berita. Dan jika mereka
diberitahu, aku akan mereka tuduh sebagai....
Inilah sebait kisah negeri perahu karam...yang nahkodanya sering
pulas tertidur, sementara penumpangnya hanya bisa ceramah. Ceramah-ceramah yang
takkan terdengar dan takkan didengar jika terdengar.
No comments:
Post a Comment