oleh Hasan Al-Jaizy
Ini
untuk orang-orang yang merasa dirinya sengsara. Kasihan sekali orang-orang
semacam ini. Atau yang lebih kasihan adalah yang merasa paling sengsara, paling
miskin dan paling menderita. Padahal ia hidup di negara aman. Ia tidak sedang
dikejar hewan-hewan. Rumahnya tidak sembarangan digrebek Densus 88. Tetapi
kenapa merasa paling besar ia punya kesengsaraan?
Padahl
semua dari kita adalah orang kaya. Boleh kaya akan makna, tapi pastinya kaya
akan fisik. Ada percakapan Haji Asnawi dan Suyuthi:
Haji
Asnawi: "Ada apa, anakku?"
Suyuthi:
"Pak Haji, hidup saya seolah paling sengsara. Saya kere sekali. Mau
menikah dengan manusia, namun modal tidak ada. Mau beli laptop, namun uang
tidak ada. Bayar kredit pun tak mampu. Mau beli baju pun tidak ada. Padahal
saya pengen sekali membeli ketiganya: manusia, laptop dan baju. Tapi yang saya
dapat malah gundukan puntung rokoknya Pak De Su'aid. Pak Haji, saya miskin
sekali. Berikanlah solusi."
Haji
Asnawi: "Baiklah, kamu bisa bahasa Arab, kan? Dan kamu suka baca kitab
juga, kan? Lalu kamu mudah menghafal Al-Qur'an, Hadits dan matan-matan,
kan?"
Suyuthi:
"Yoi, Pak Haji."
Haji
Asnawi: "Baiklah. Nanti saya doakan supaya Allah mencabut ketiganya dari
dirimu: bahasa Arab, hasrat baca kitab, dan kemampuan menghafal. Saya doakan
pula agar Allah mengganti ketiganya dengan manusia, laptop dan baju."
Suyuthi:
"Wah, tidak bisa, Pak Haji. Sadis sekali. Saya ga mau kehilangan itu
semua. Itu semua juga modal saya buat masa depan."
Haji
Asnawi: "Baiklah. Saya memaklumi. Sekarang saya punya tabungan 300 juta.
Itu bisa menjadi modal kamu nikah, beli buku segudang dan menambah nafsu baca
bukumu. Saya akan serahkan 300 juta untukmu siang nanti. Gimana??"
Suyuthi:
"Waaah, makasih Pak Haji! Senaaang!"
Haji
Asnawi: "Tapi, ya ada syaratnya lah."
Suyuthi:
"Wah, syaratnya apa itu, Pak Haji?"
Haji
Asnawi: "300 juta itu sebagai bayaran tunai pembelian kedua matamu. Saya
ingin membeli matamu. Kamu korbankan matamu saja lah demi 300 juta."
Suyuthi:
"Yaaah, tidak mungkin juga. Waduh."
Haji
Asnawi: "Berarti, mahalan mana: penglihatanmu atau 300 juta?"
Suyuthi:
"Ya mataku lah, Pak Haji."
Haji
Asnawi:
"Nah,
di situlah bagaimana kau harus merenung tentangnya. Kamu punya mata dan anggota
tubuh lainnya masih berfungsi dengan baik. Jika satu saja dari matamu cacat,
maka bagimu itu lebih mahal dari 300 juta. Sementara sekarang pun kau mengeluh
miskin; sedangkan sebenarnya sedari lahir kau sudah diciptakan kaya dan
memiliki kekayaan. Lihat sekujur tubuhmu. Lihat kakimu, seberapa kilo sudah digunakan
untuk berjalan. Lihat tangan dan jemarimu, seberapa banyak tulisan yang kau
buat yang bisa menjadi modal untuk dunia dan akherat? Lihat lisanmu, seberapa
banyak ia bisa memberi manfaat?
Ketika
pahitmu, jangan kiaskan pahitnya dengan manisnya hidup orang lain. Karena
ketika kau nanti hidup dalam kemanisan, kau pun tak ingin orang berpahit hidup
menuntut dirimu untuk memaniskan hidupnya.
Tetapi,
jadilah orang yang memberi kemanisan pada selainnya meski hidup sendiri
ditakdirkan pahit. Jadikan pahitmu adalah manis untuk orang lain. Betapa banyak
orang yang bermanis hidup namun memahitkan hidupnya dan hidup orang lain.
Jadilah manusia yang berguna dengan kesederhanaan kekayaan yang kamu miliki.
Jangan
jadikan kesulitan hidup alasan untuk tidak memberi kebaikan pada manusia. Jika
punya harta, berikan secukupnya. Jika punya ilmu, berikan sebanyaknya. Jika
tidak punya keduanya, berikan jasa. Jika tidak punya harta, ilmu dan jasa,
berikan mereka salam dan doa. Jangan pernah ingin hidup jika tidak memberi manfaat
pada manusia. Karena terkadang hewan pun memberi manfaat pada manusia."
Suyuthi
pun merinding. Sementara anak perempuannya Haji Asnawi mengintip dari tirai
kamar.
No comments:
Post a Comment