Wednesday, February 6, 2013

Pendidikan Kuburan Keramat

oleh Hasan Al-Jaizy

Dulu, kuliah di Madinah, Mekkah, Riyadh, Yaman, bahkan di lipia, adalah sebuah kejarangan dan tantangan. Banyak pelajar berhasrat, namun takdir untuknya tak semuanya tersirat. Sehingga lulusan sana adalah orang2 yang tahu agama, melebihi pengetahuan di atas rata-rata.

Itu masih hingga sekarang. NAMUN, kadarnya tak sewajar dahulu. Pelajar ilmu syariah akademik sekarang toh banyak yang 'ga jadi'. Mudah2an bukan termasuk saya dan kawan-kawan sekalian. Sekarang, semua orang bisa belajar ilmu syariah. Baik berbayar atau gratis.

Jikalau Internet benar-benar dimanfaatkan maksimal, bukan tidak mungkin anak pengajian rutin mingguan 2x, bisa setara pengetahuannya dengan anak-anak akademik formal. Ini jika kita tidak melihat dari segi kapasitas penguasaan ilmu alat mereka (Arabic, Ushul Fiqh dst). Tapi, Internet kini benar-benar curahan rahmat sekaligus...

fitnah

Satu sisi, saya pribadi senang sekali dengan kemajuan kawan-kawan Jogja yang dengan kegigihan, keteraturan, keseimbangan dan 'konspirasi' yang rapi bisa menjadikan generasi yang ngampus ilmu dunia, tapi bisa juga ngaji ilmu akherat. Sehingga, lahirlah para asaatidzah yang tadinya tak mempunyai latar belakang pondok pesantren atau pedepokan religius. Ini karena kegigihan dan konspirasi yang patut diacungi jempol dan dicontoh.

Namun, di sisi lain, saya menerawang sesuatu ke depannya. Sebelum saya jabarkan, perlu ditekankan bahwa tiada gading yang tak retak. Satu sisi Internet adalah rahmat, satu sisi Internet bertaburan kualat. Satu teori dan metode boleh keren di masa kini, namun di masa depan bisa ditinggalkan.

Begini:


Kelak pondok pesantren tak laku lagi...

Kelak ngampus di Madinah, bahkan lipia yang dekat itu, tak diminati banyak orang lagi...

Sebagaimana kelak kitab-kitab asli Arabic tak diperlakukan seperti dulu lagi, tak banyak dibeli....

Kenapa begitu?

Karena semakin kini, manusia semakin berfikir 'menjaring faedah cepat' atau 'sekali loncat dua pulau terlampaui'

Kalau sudah ada pesantren online, buat apa belajar di pesantren offline?
Kalau sudah ada pengajian lokal, buat apa pakai yang interlokal sampai ke Madinah segala?
Kalau sudah ada Syamilah, PDF, fotocopy-an, bahkan percetakan pembajak, buat apa bermahal beli kitab aslinya?
Kalau sudah ada terjemahan, buat apa beli yang berbahasa aslinya?
Kalau sudah ada terjemahan membentang, buat apa memperdalam bahasa Arab?

Kalau sudah bisa ngustadz tanpa harus nyantren atau ngampus di pondok atau kampus syari'ah, buat apa nyantren dan ngampus?

Boleh jadi Anda menilai saya tergesa dan terlalu jauh berfikir, tapi boleh jadi juga apa yang saya pribadi fikirkan terjadi, bukan? Bukankah itu sudah mulai terjadi kini? Lihat, mulai banyak orang tua lebih percaya pada home-schooling saja. Mulai banyak orang tua yang tak berani memasukkan anaknya ke pondok. Mulai ada orang tua mengatakan: "Masuk Fakultas umum saja! Belajar agama itu bisa di pengajian atau kitab."

Saya sungguh yakin bahwa dengan pengajian rutin, intensif dan gigih, ilmu syariah tersampaikan dan terpatri di jiwa peserta = kalangan muda atau tua. Tetapi, amat saya takutkan, sebagai anak didikan pondok, dan sebagai yang mengenal ilmu pertama kali tidak lewat internet melainkan lewat lisan guru juga kalimat kitab, kelak manusia menjadikan pragmatisme sebagai asas pertama undang-undang memahami ilmu agama. Sehingga mereka fikir, ilmu agama akan dikuasai sesuai target singkat dalam beberapa masa. 1 tahun sudah bisa begini begitu.

Sebagai didikan pondok, saya takut kelak pondok bukanlah suatu wadah yang dipercaya lagi.
Sebagai didikan akademik formal, saya takut kelak didikan seperti ini tidak digemari lagi.
Sebagai bukan didikan anak pengajian rutin, saya mengapresiasi semua pelajar formal atau non-formal, namun nafas-nafas menurunkan derajat pendidikan formal makin kemari makin terasa.

Semakin nginternet jaman kita ini, semakin simple orang berfikir. Semakin ingin cepat. Entah cepat sampai, entah cepat ingin dapat, bahkan entah cepat ingin hasilnya terlihat. Target itu bagus, namun mohonnya tak berfikir simple. Pencetakan kader adalah amalan kemuliaan. Namun, setidaknya, tanamkan fikiran bahwa menuntut ilmu tidak satu dua tiga empat tahun lalu jadi ustadz begitu saja. Kalau frame fikirannya begini, saya prediksikan tahun 2020 semua lulusan akademik Fakultas non-religius yang ngaji rutin akan menyandang gelar ustadz semua. Ustadz-ustadz semakin banyak. Dan ketika ustadz semakin banyak, ikhtilaf, khilaf dan nizaa' juga semakin banyak. Masing-masing akan merasa benar dengan manhaj atau almamater non formal atau didikan pengajian atau pemikirannya.

Lalu, apa maunya saya di tulisan ini?

Maunya saya adalah agar kita sama-sama belajar. Bukan demi kemudian menjadi ngustadz dan ngehabib karena ngampus di sini atau ngaji rutin di sana. Ngustadz itu tentu kemuliaan. Karena ustadz = guru.

Karena sekarang -alhamdulillah- mulai bermunculan asaatidzah yang tak berlatar belakang pendidikan religius formal. Sayangnya, ada yang menganggap bahwa model merekalah yang patut dicontoh. Jadi, ndak usah mimpi ke luar negeri buat belajar agama. Karena 'gue juga bisa kayak mereka; sama2 ga berlatar belakang edukasi islami'.

Saya ingin yang namanya 'ustadz', kalau sudah disebut 'ustadz' lalu bergandengan dengan 'ustadz' lainnya, tidak usah dipilah berdasarkan latar belakang pendidikannya. Kalau dia lulusan Madinah, berarti lebih bagus dari yang sekadar hasil jerih ngaji. Tidak begitu. Juga tidak begini: Dia meskipun ga ke Madinah, ke lipia pun tidak, tapi rutin ngaji saja bisa seperti itu, berarti: dia lebih hebat dari anak Madinah atau lipia.

Ada yang layak kita takutkan di balik rahmat.

No comments:

Post a Comment